Dan tentu saja hal ini sangat langka bagi seorang jurnalis yang bekerja untuk menyampaikan sikap publik dan menuduh bos media gagal untuk melayani kepentingan umum

Oleh : Heru Lianto

Kebanyakan para wartawan enggan mengkritisi para pemegang saham media karena secara tidak langsung mereka adalah orang yang memberikan makan mereka atau hanya percaya bahwa mengeluh itu tidak akan ada gunanya.

Tapi tidak bagi Edward R. Murrow, wartawan senior paling terkemuka di Amerika pada zamannya. Di mana dalam pidatonya pada tahun 1958, di beberapa Radio dan Televisi berita, ia secara tegas berani menuduh para direksi asosiasi industri media yang menempatkan keuntungan sebelum kepentingan publik dengan mempromosikan “dekadensi, pelarian dan isolasi dari realitas dunia di mana kita hidup.”

Di Rusia, Murrow terkenal dalam sebuah pidatonya, yakni ” pidato ini mungkin tidak ada ada gunanya”, yang akhirnya justru membuat aspirasi kontroversi dalam pidatonya itu malah mempercepat pemecatannya dari kantor berita CBS News, dan ia pun gagal untuk membendung hiburan dan berita yang tak berimbang bagi kepentingan publik.

Namun dalam pidatonya itu, para bos media tidak  peduli sama sekali dengan semua apa yang dikatakannya dan menganggap pernyataan Murrow hanyalah “sapi ompong”, serta lebih mengedepankan kepentingan komersial.

Kebanyakan orang Amerika tidak sadar bahwa setengah abad kemudian, Murrow kembali muncul di beberapa televisi Rusia, sikapnya yang kritis mengkritik media Rusia, telah menghancurkan kredibilitas televisi Rusia.

Rekannya dari media Rusia, Leonid Parfyonov secara eksekutif mendapatkan penghargaan pada November 2010 lalu, penganugerahan yang disematkan kepadanya dikarenakan ketegasan dalam menyampaikan informasi publik sesuai dengan kenyataan.

Dalam acara penganugerahan, Leonid Parfyonov banyak dikecam oleh para elit Rusia sehingga banyak TV Rusia tidak mau meliput malam penghargaan itu, tapi acara tersebut dapat anda lihat di YouTube. (Lihat” http://www.youtube.com/watch?v=-BmnSDoU1Z0 )

Parfyonov akhirnya membuka mata publik bahwa banyak berita Rusia yang di sensor mengikuti keinginan para pemegang saham dan pemerintah sehingga banyak berita tidak berimbang, namun seluruh publik Rusia tahu akan kebenaran yang sesungguhnya.

Setelah satu dekade pasca runtuhnya Soviet, banyak televisi Rusia mengalami kebebasan pers meskipun belum sepenuhnya, karena selama ini Kremlin telah mengubah jaringan televisi nasional menjadi corong pemerintah saja.

Parfyonov berbicara blak-blakan, ia mengungkap arus berita sebenarnya dan menguak semua tabir kehidupan secara berimbang, ia membagi dua kategori berita yang tak dapat disiarkan yakni: Orang yang dapat disiarkan di televisi dan yang tidak dapat disiarkan”

Kisah di balik pidato Parfyonov itu pun bahkan telah mengganggu presiden Rusia, Vladimir Putin, jurnalis yang mengungkapkan kebenaran merasa tidak nyaman dan takut kehilangan pekerjaan bahkan sekaligus nyawa mereka. Dia mengatakan kepada penonton, dia baru saja ke rumah sakit untuk mengunjungi Oleg Kashin, wartawan Kommersant, surat kabar harian terkemuka Rusia yang terluka karena beritanya yang menyinggung pihak tertentu.

Kashin secara brutal dipukuli oleh para preman dengan batang baja, mungkin karena ia menulis artikel tentang sebuah proyek jalan raya kontroversial pemerintah yang akan memangkas jalur hutan. Para penyerang Kashin itu tidak pernah dibawa ke pengadilan dan banyak keselamatan wartawan di Rusia berada dalam bayang-bayang ketakutan.

Sejajar dengan Murrow, Parfyonov merupakan kasus wartawan dengan jam terbang tinggi yang mencoba melawan sistem. Meskipun akhirnya Murrow kalah dalam pertempuran melawan sistem.

Lalu apakah pembangkangan vokal Parfyonov telah berdampak kepada publik? Pidato Parfyonov tidak mengubah apa-apa – tidak menimbulkan debat publik tentang sifat media yang dikelola negara atau kebebasan pers di Rusia, tetapi tidak menyebabkan perubahan personel di salah satu jaringan utama; hal itu tidak menyebabkan perubahan dalam strategi, tapi bagaimana perubahan di Rusia terjadi,”

Panitia mengatakan pidato Parfyonov menentang para elit Rusia [termasuk mereka yang mengaku menjadi pro-Kremlin untuk menjaga mata pencaharian mereka] dengan sensor yang pada gilirannya hanya satu contoh kontrol menyeluruh yang diatur Kremlin.

Perusahaan Pers di Asia.

Perjuangan wartawan dalam melawan perusahaan media tempat mereka bekerja bukan hanya saja terjadi di Rusia, bahkan di Asia pun terus melakukan pemberontakan terhadap kesewenang-wenangan atas pemilik media yang condong sebagai corong pemerintah.

Adalah Huang Wei-che – anggota legislatif dari Partai Demokrasi Progresif, partai oposisi terbesar di parlemen di Teipei, Taiwan belum lama ini juga memberlakukan peraturan bagi perusahaan pers untuk iklan-iklan yang dibiaskan atau disamarkan sebagai berita.

Di mana dalam peraturan baru tersebut, lembaga-lembaga pemerintah dilarang untuk  menyogok media massa dalam membuat berita yang berlebihan atas keberhasilan di negeri mereka itu. Pemerintah juga diharuskan mencantumkan indikator jelas bahwa berita-berita yang diterbitkan di media massa merupakan iklan.

Perlu diketahui bersama berdasarkan hasil temuan lembaga riset AC Nielsen, sebagaimana dilansir AFP, 50 lembaga pemerintah Taiwan, sepanjang 2010, telah menghabiskan 1,24 miliar dollar Taiwan (382 miliar rupiah) untuk menyogok berbagai media dalam mempromosikan berbagai kemajuan yang dicapai sehingga rakyat memiliki pandangan positif terhadap pemerintahan yang ada sekarang

Lalu bagaimana dengan perusahaan Pers Indonesia? Di tahun 2007 lalu, ketika penulis dan beberapa mahasiswa lain berkumpul di salah satu kantor redaksi media online yang terletak di bilangan Jakarta Pusat, guna dididik menjadi wartawan. Jus Soema Dipraja, mantan wartawan KOMPAS, salah satu koran  harian yang berpengaruh terhadap publik di Indonesia mengatakan dirinya pernah keluar dari perusahaan media massa ternama tersebut, dikarenakan saat itu KOMPAS dinilainya telah melakukan “penandatanganan perjanjian dengan pemerintah Indonesia” yang diwakili oleh Jakob Oetama. Menurutnya, KOMPAS telah melanggar etika pers dengan melakukan kompromi bersama pemerintah.

Tidak hanya KOMPAS, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI ini juga  menyebutkan bahwa media TEMPO turut melakukan hal yang sama, tepatnya di tahun 1982 setelah kejadian kasus Lapangan Banteng. Jadi, sangat wajar bila TEMPO akhirnya dibredel pada tahun 1994, karena pemerintah menganggap TEMPO telah melanggar isi perjanjian.

Selain itu, mantan wartawan Indonesia Raya (IR) ini juga mengatakan, media-media massa sekarang yang kini jumlahnya banyak belum mampu menjalankan fungsi kontrol sosialnya, di mana mereka masih bisa dikatakan sebagai corong-corong pemerintah. Dan justru pers sekarang diberi kebebasan yang sangat luas, tapi tidak paham apa itu arti kebebasan. Mereka gagap dan mencari aman meski hak-haknya sebagai jurnalis “diperkosa”.

Tidak berhenti di situ. Pada enam tahun silam, lima wartawan TRUST– salah satu perusahaan Grup MNC milik pengusaha Hari Tanoesudibjo – melakukan perlawanan atas kesewenang-wenangan pihak manajeman dikarenakan perusahaan media tersebut secara enaknya memecat lima wartawannya sampai akhirnya berujung ke pengadilan. Namun, meskipun dimenangkan oleh karyawan TRUST sampai saat ini hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh karyawan TRUST belum juga terpenuhi. (Lihat, http://rusdimathari.wordpress.com/2010/03/07/phk-wartawan-trust-lima-tahun-lalu-itu/)

Di tahun 2011 ini, perjuangan demi perjuangan atas hak jurnalis yang tertindas oleh pengusaha media massa juga dilakukan pekerja INDOSIAR yang tergabung dalam Serikat Karyawan (SEKAR) INDOSIAR, di mana salah satu televisi swasta nasional itu dianggap telah menorehkan citra buruk sebagai salah satu perusahaan media yang melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya dengan membiarkan seseorang bekerja tanpa mendapatkan upah yang layak dan upaya pemberangusan/anti berserikat bagi pekerja Indosiar.

Namun, setelah 1 (satu) tahun proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat berlangsung, dan mengalami beberapa kali penundaan putusan pengadilan oleh majelis hakim dengan alasan yang tidak masuk akal, maka tibalah pada waktunya SEKAR INDOSIAR bergembira karena hasil Putusan Majelis Hakim  adalah memenangkan atas gugatan Sekar Indosiar kepada pihak manajemen Indosiar

Dan tentu saja hal ini  sangat langka bagi seorang jurnalis yang bekerja untuk menyampaikan sikap publik dan menuduh bos media gagal untuk melayani kepentingan umum

Lalu tanpa mengagung-agungkan nama Murrow dan Parfyonov, Jus Soema Dipraja, mantan lima wartawan  TRUST, serta Serikat Karyawan (SEKAR) INDOSIAR, sepantaslah wartawan lain perlu mengingat mereka, karena prinsipnya yang keras untuk perubahan dan mereka adalah salah satu simbol perjuangan untuk kebebasan pers dari belenggu pemegang modal dan pemerintah, membuat banyak berita yang tidak netral karena menjadi corong pihak tertentu. Dan hal ini terjadi di belahan dunia manapun.

Meminjam istilah cendiakiwan dulu: Kami berpikir, maka kami ada. Itulah mahasiswa Indonesia.